Rahasia Meriah Panggung Ariah
Lebih dari satu dekade lalu, tepat pada perayaan hari ulang tahun Jakarta yang ke -486, Monas bersolek untuk pentas meriah Ariah. Acara ini merupakan buah dari kerja sama apik dan solid antara sutradara dan penulis naskah Atilah Soeryadjaya, penata artistik Jay Subiakto, penata musik Erwin Gutawa, serta koreografer Eko Supendi dan Wiwiek Sipala. Menunjang perhelatan akbar ini, beragam elemen pertunjukan berhasil menyihir mata penonton, terutama desain panggung epik nan spektakuler.
Ariah mungkin menjadi sosok yang terlupa di balik pemberontakan Tambun.. Berasal dari Paseban Kampung Sawah, Ariah adalah gadis cantik yang piawai bela diri. Namun karena desakan ekonomi, Ariah bersama Ibu dan saudaranya hanya mampu tinggal di tanah mandor kampung itu. Di sana, tinggal pula Bang Juki, pemuda setempat yang mahir silat. Ariah jatuh hati padanya, tapi kecantikan Ariah membuatnya diincar pria-pria lain seperti Tuan Mandor dan Oey Tambah Sia sang juragan Cina. Sadar menjadi incaran, Ariah selalu membela dirinya melawan para centeng suruhan Oey Tambah Sia. Namun, perkelahian berlangsung tak seimbang dan menyebabkan Ariah tewas. Walau berakhir naas, Perjuangan Ariah yang membela kehormatan dan martabat dapat menjadi inspirasi perempuan di generasi mendatang.
Latar perjuangan Ariah yang menantang ditunjukkan dengan kontur panggung yang miring dan tinggi, menyerupai padang pasir yang luas. Dengan ukuran 72 x 48 meter, penata artistik Jay Subiakto membagi tiga level ketinggian panggung di angka 3, 7, hingga 10 meter. Tiga level ketinggian itu terinspirasi dari 3 bagian konsep Monumen Nasional yang terdiri dari bagian kepala, badan, dan kaki. Untuk memberikan kedalaman pada penonton, di tiga bagian itu dibuat bukit-bukit dengan kemiringan 15, 20, hingga 35 derajat. Bukit miring ini diambil berdasarkan perhitungan derajat kemiringan Monas sebagai titik nol Jakarta terhadap menara Syahbandar di Jakarta Utara. Menurut Jay, ia berusaha memaksimalkan Monas sebagai lokasi pertunjukan yang memang sudah ikonik bahkan sakral. Ia pun berkata bahwa Monas adalah penanda keberadaan yang berdasarkan keseimbangan (lingga dan yoni), keselarasan, dan keteguhan bangsa.
Walaupun miring, panggung ini tetap menjadi taman bermain yang leluasa bagi 200 penari dan 120 musisi orkestra. Ida Sunaryono, sang penari asal Solo pun dipercayai untuk memerankan Ariah. Tantangan terbesarnya adalah mempelajari teknik tari Betawi yang berbeda dengan tari Jawa yang selama ini digelutinya. Tak tanggung-tanggung demi peran ini, Ida juga mempelajari pencak silat, menyanyi, dan menari dalam satu waktu. Padahal rentang waktu yang dibutuhkan untuk latihan dan persiapan tergolong sempit, yakni hanya 5 bulan saja.
Dengan panggung yang besar dan penari yang banyak, penata kostum Chitra Subijakto sukses menampilkan komposisi warna busana yang cantik dengan sentuhan etnik Betawi yang khas. Ia sampai meriset gaya berpakaian perempuan Jakarta pada tahun 1860-an dan berimajinasi dengan kreasinya. Semarak warna-warni kostum itu semakin meriah dengan adanya pencahayaan dan video mapping yang ditembak langsung ke arah panggung. Langit Jakarta pun semakin benderang dengan dukungan permainan pyrotechniques atau kembang api juga semburan api yang menari-nari spektakuler. Pesatuan keindahan panggung, kekuatan cerita, dan kehebatan aksi para pengisi acara pada akhirnya mampu memukau lebih dari 15 ribu penonton pada malam itu. Kini, kita pun tetap bisa menyaksikan kemeriahan panggung Ariah karena rekaman pertunjukannya diunggah secara resmi di akun Youtube Erwin Gutawa Productions.